Minggu, 03 Januari 2010

Menyingkap Perbedaan Antara Dakwah Salafiyah Dan Dakwah Hizbiyah (II)

Menyingkap Perbedaan Antara Dakwah Salafiyah Dan Dakwah Hizbiyah (II)
Rabu, 28-Desember-2005, Penulis: Syaikh Muhammad Bin Ramzan Al-Hajiry

Sementara golongan yang paling berbahaya sebagaimana kami telah terangkan adalah para pembawa dan pengikut syubhat dan para pengikut hawa nafsu sebab melalui merekalah datangnya bencana-bencana yang lain terhadap ummat, berupa kesyirikkan dan kemaksiatan-kemaksiatan. Merekalah yang menghias-hiasi bagi orang-orang jahil dari kaum muslimin akan jatuhnya mereka dalam kesyirikkan berupa do’a kepada orang-orang yang sudah mati, baik dari kalangan para nabi dan para wali. Sebagian mereka menjadikan para pelaku maksiat meninggalkan istiqomah, disebabkan karena mereka berlebihan dalam mengkafirkan para pelaku maksiat dan dalam mengingkari kemungkaran dengan (cara-pen) menghalalkan darah para pelaku maksiat tersebut.

Kelompok yang lain menghiasi maksiat terhadap orang banyak dengan menamakan maksiat dengan selain namanya, seperti penamaan zina dan khina serta kotornya percampur bauran antara perempuan dengan lelaki dengan menamakannya sebagai pergaulan arwah (ruh-ruh) serta kefanaan pada zat Allah.

Dan juga seperti mereka menamakan khamr sebagai minuman ruhiyah jiwa, menamakan alat-alat musik dan lagu-lagu/nyanyian yang nista sebagai seni yang tinggi dan santapan rohani. Juga menamakan nasyid-nasyid bid’ah sebagai nasyid-nasyid Islamiyah, menamakan riba dengan nama faedah dengan menganggapnya sebagai suatu keharusan dalam (kehidupan) perekonomian. Dan seperti memberi nama terhadap partai-partai/kelompok yang memecah belah ummat sebagai jama’ah-jama’ah untuk menyatukan kaum muslimin, maka bagaimana mungkin tafriq (pemecah-belahan) dapat menjadi tajmi’ (penyatuan/pengumpulan)?? Demikian pula seperti memutlakkan pemberian ba’iat terhadap waliyul ‘amr (pemerintah/penguasa) kaum muslimin dalam perkara yang ma’ruf bahwa itu adalah keta’atan terhadap para thaghut… sampai akhir dari semua kebohongan mereka yang tidak cukup tempat untuk menyebutkan semuanya.
Maka beralihlah banyak dari bentuk-bentuk keta’atan lantaran syubhat-syubhat mereka itu-(dipandang sebagai-pen) kemaksiatan-kemaksiatan. Dan (sebaliknya) kemaksiatan-kemaksiatan beralih menjadi qurbat (pendekatan-pendekatan diri) yang dengannya mereka mendekatkan diri kepada Allah. Dan ini adalah kebodohan yang rangkap lagi buruk , yang (juga) membuktikan bagimu sejauhmana berbahayanya Ahlul Ahwa’ (pengekor hawa nafsu) serta ukuran kerusakan yang mereka timbulkan pada ummat ini. Ketika khurujnya (berontaknya) khawarij (2), I’tizalnya mu’tazilah (3), rafdhoh (menolaknya) Rowafidh (4) terbukalah pintu fitnah atas ummat ini.

Sedangkan yang menjadi titik pusat perbedaan antara firqah-firqah (kelompok-kelompok) ini adalah perbedaan-perbedaan aqidah. Sungguh fitnah tersebut berdiri di atas fanatisme yang berlebihan, saling berbantahan, saling bermusuhan dengan segala bentuk dan macamnya, sehingga (fitnah) ini telah dapat melenyapkan (meruntuhkan) suatu Negara dan mendirikan Negara (yang lain) dan terjadilah bencana. Sementara itu sebagai bandingannya, para da’I (penyeru) kepada kebenaran, yang mereka itu adalah para salafus shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, mereka menghadapi dan melawan kebatilan tersebut.

Dan perlawanan ini adalah perlawanan yang terbuka dan jelas, tidak ada yang tersembunyi padanya. Para da’i kepada kebenaran ini telah menghadapi mereka dengan Al Bayan (penjelasan) yang didukung oleh kuatnya hujjah dan dalil dari Al Kitab dan Sunnah. Mereka juga melawan dengan senjata, sebagaimana yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu. Mereka itulah orang-orang yang selalu mendukung kebenaran, baik dengan penjelasan Al-Qur’an dan As Sunnah ataupun dengan perlawanan menggunakan senjata. Golongan-golongan ini (masing-masing) mempunyai asal-asal dan mempunyai sejarah, yang pada kesempatan ini bukanlah tempatnya untuk menjelaskan sejarah pertumbuhan golongan-golongan dan menjelaskan asal-asalnya, melainkan hanya sekedar memberikan isyarat terhadap apa yang telah dimunculkan oleh golongan-golongan ini.

Golongan-golongan tersebut dengan prinsip-prinsip aqidahnya yang merupan hal baru dalam agama,masih tegak dan eksis hingga jaman ini. Tidak ada satupun dari firqah yang pernah keluar (muncul) akan lenyap bahkan sebaliknya firqah-firqah (baru) selalu terus bermunculan. Tidak ada satupun firqah yang pernah keluar akan kembali meskipun para pendirinya sudah kembali, akan tetapi aqidah-aqidah dan jalan-jalannya yang rusak akan tinggal sebagaimana terjadi pada Al-Asya’irah dimana Abul Hasan telah kembali kepada manhaj Ahlissunnah, akan tetapi prinsip-prinsip dasar yang rusak yang dia letakkan di awal kali masih tetap tegak, dibela dan diperjuangkan secara dfanatiki secara batil oleh orang-orang yang meyakininya setelahnya. Diantara bentuk-bentuk perpecahan yang juga terjadi setelah periode shahabat adalah fanatisme-fanatisme buta terhadap madzhab-madhzab fiqih dimana perselisihan-perselisihan madzhab yang terjadi diantara pengikut-pengikut madzhab sudah mencapai suatu tingkatan dimana sebahagian mereka menganggap bahwa perempuan-perempuan dari sebahagian lainnya (pengikut madzhab yang lain-pen) adalah layaknya perempuan-perempuan ahlil kitab dalam masalah pernikahan. Maka jangan merasa terkejut jika membaca di dalam sejarah tentang apa yang telah terjadi berupa pengusiran seseorang dari masjid atau dilepaskannya ia dari posisi Imam shalat di masjid, atau diturunkannya seorang khatib dari mimbarnya atau diusirnya seseorang dari suatu kota atau suatu negeri. Salah seorang ulama India menceritakan padaku bahwa salah seorang dari mereka (dari kalangan yang sama dengan ulama ini-pen) biasa meletakkan kedua tangannya pada dadanya ketika berdiri setelah ruku’ (posisi I’tidal-pen), ketika itu ada orang lain yang memukulnya pada kedua tangannya sampai mematahkannya.

Bahkan salah seorang dari mereka ketika mengucapkan “amin” di dalam masjid maka seseorang membuntutinya lalu menembaknya dengan senjata api hingga membunuhnya di masjid tersebut. Semua ini adalah disebabkan oleh perbedaan-perbedaan madzhab dan ta’ashub (fanatisme buta) yang buruk, yang hal ini telah dibantah (dikritik) oleh semua ulama ahlus sunnah pentahqiq, bahkan sesungguhnya para Imam yang empat yang diikuti dalam madzhab-madzhab, mereka sendiri memiliki pernyataan-pernyataan (komentar-komentar) yang gamblang dalam membuang sikap ikut-ikutan dan fanatisme buta yang tercela serta anjuran untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

Maka telah dikenal perkataan Abu Hanifah:
“Tinggalkan apa yang aku katakan dan lihatlah siapa yang aku ucapkan perkataannya, yaitu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.”

Dan sebagaimana perkataan Al Imam Malik:
“Semua orang dapat diambil perkataannya dan dapat ditolak kecuali pemilik kamar ini yaitu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.”

Imam Asy Syafi’I berkata:
“Jika suatu hadits telah shahih, maka itulah madzhabku.”

Adapun Imam Ahmad maka banyak sekali contoh yang menggambarkan ketamakkan beliau dalam mengikuti dalil (5). Tetapi meskipun semua perkataan begitu gamblang, tetap juga para pengikut madzhab-madzhab itu terjatuh di dalam ta’ashub yang sangat dibenci, yang masih ada pada Negara-negara Islam berupa ta’ashub. Seandainya mereka kembali kepada Al Kitab dan As Sunnah dan berpegang kepada dalil-dalil di dalam madzhab-madzhab, manhaj (jalan-jalan), suku-suku, letak geografis, warna-warna, serta lisan-lisan bahasa-bahasa (6), maka sungguh akan lenyaplah perselisihan ini, akan hilang percekcokan dan akan sirna permusuhan dan akan musnah celaan-celaan dan saling memaki. Jikalau mereka kembali kepada dalil-dalil yang dijadikan rujukkan oleh ahlil ilmi, maka perkataan oranglah yang harus dicari dalil-dalil pendukungnya bukannya perkataan-perkataan itu sebagai dalil.

Kalau begitu, dengan kembali kepada Al Kitab dan As Sunnah dan berpegang kepada keduanya, akan hilang perselisihan-perselisihan aqidah dan madzhab. Dengan kembali kepada keduanya dalam masalah ilahiyah (ketuhanan), kenabian, hari akhir dan pokok-pokok aqidah yang lainnya serta dalam hukum-hukum.

Bahwa sesungguhnya umat Islam sampai sekarang ini, sedikit demi sedikit meminum pahitnya perbedaan ini, pada masalah aqidah dan hukum-hukum. Untuk itulah adanya da’wah yang sangat serius untuk memperbaiki aqidah-aqidah dan memperbaiki hukum-hukum. Hal tersebut adalah dengan cara kembali kepada petunjuk para salafus shalih. Itulah yang diserukan oleh da’wah salafiyyah yang mana imamnya adalah Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, Nabi yang mulia serta Rasul yang agung.

( Bersambung Ke Bagian III )

(Dikutip dari majalah An-Nashihah Volume 09 1426H 2005M)

2 I’tizalnya mu’tazilah maknanya munculnya pertama kali perbuatan I’tizal yang kemudian digunakan dalam penyebutan-nama
golongan ini Mu’tazilah. Golongan ini muncul pertama kali pada kurun kedua hijriah antara tahun 105 dan 106 H dibawah pimpinan
Washil bin Aththo tatkala dia memisahkan diri dari majelisnya Al Hasan Al Bashry setelah dia dengan lancang mendahului
Al Hasan Al Bashry dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan tentang pelaku dosa besar, dimana dia berkata bahwa pelaku
dosa besar berada pada satu keadaan di antara dua kedudukkan, bukan bersama orang-orang beriman, juga tidak bersam-sama
orang-orang kafir pada hari kiamat mereka kekal di neraka. Jawaban ini menyelisihi madzhab salaf yang tegak di atas kebenaran
dan sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah yaitu bahwa mereka berada di bawah kehendak Allah. Golongan Mu’tazilah ini terpecah
sampai 22 golongan.
Dengan penyandaran penyimpangan-penyimpangan pemikiran/aqidah yang semuanya tergabung pada 5 pokok:
1. Tauhid berdasarkan tarekat Al Jahmiah
2. Al Adl berdasarkan tarekat Al Qodariah
3. Janji dan Ancaman
4. Al Manzilah (kedudukkan) di antara dua tempat
5. Amar Ma’ruf berdasarkan tarekat Al Khawarij
3 Khuruj di sini berarti berontak dan keluarnya dari ketaatan terhadap wulatul amr (pent)
4 Rawifidh : bentuk jama’ Rafidhah, yaitu suatu golongan syiah yang memiliki pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat aqidah
yang menolak ke khilafahan Abu Bakar dan Umar bin Khatthab dan menolak kebanyakan shahabat dan meyakini bahwa hak ke
khilafahan hanyalah pada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya berdasarkan nash dan dari Nabi dan bahwasanya kekhilafahan
selain mereka adalah batil.
5 Lihat perkataan ini pada kitab “Iqodzhul Humam” karya Al Filany, kitab I’lamul Muwaqqi’in” karya Ibnul Qoyyim, kitab Al Intiqo
Fi Fadhoilil A’immatits tsalatsah Al Fuqaha” karya Ibnu Abdil Bar, kitab “Al Qoul Al Mufid fi Adilatil Ijtihad wat Taqlid, kitab
“Al Inshof fi bayani sababil ikhtilaf” karya syaikh Waliyullah Ahmad Ad Dahlan dan Muqodimah kitab “Sifat sholat An Nabi,
Karya Al Albany rahimahullahul jami’ (mudah-mudahan Allah merahmati mereka semua)
6 Dari Az Zuhri, dia berkata:”Saya datang kepada Abdul Malik bin Marwan , maka dia berkata, “Darimana engkau datang wahai
Zuhri?”. Aku berkata, “Dari Makkah.” Dia berkata,”Siapa yang engkau tinggalkan mengurusnya (Makkah) dan penduduknya?”.
Aku berkata,”Atho bin Abi Rabbah.” Dia berkata,”Dia (itu) dari asli Arob atau dari Muwalah (bukan asli, misalnya
Turunan dari bekas budak orang arab atau turunan dari orang yang masukIslam lewat orang Arab (asli).
Kata (Abdul Malik),”Maka dengan apa dia jadi pemimpin mereka?” Aku menjawab:”Dengan agama dan riwayat
(hadits).” Katanya,” Sesungguhnya orang yang memiliki din (agama) dan riwayat sangat pantas untuk memimpin.”
Dia berkata,”Siapa yang memimpin penduduk Yaman?” Aku berkata,”Thawus bin Kaisan…dst

Tidak ada komentar:

Posting Komentar